BLOG untuk manusia Penjilat Kreatifitas
BERANI MENJILAT UNTUK SEBUAH KREATIFITAS

Minggu, 24 Juni 2012

Ada Gerimis Pada Hujan


                                                                Makassar April 2010
Seperti hujan gerimis, aku merasakan ketidak sungguhanku pada hujan. Setelah deras airmata kutumpahkan di lautan hidup. Entah, sudah berapa lama terik matahari menghanguskan kulit tubuh ini yang telah kusam ditelan waktu. Sepertinya tetes-tetes air mampu memberi sedikit rasa kesejukan jiwa yang gersang.

Hati nurani terkoyak dengan apa yang telah aku tangkap oleh indera ku yang buta lagi tuli. Namun aku tak berdaya sebagaimana ketidak berdayaan bumi yang ditelan hujan badai. Terbang bersama angin mengikuti arah bumi yang lamban berputar. Aku terkapar dan mati dalam kesendirian. Dimana jiwa-jiwa?!

Seperti helaan nafas panjang melepas sesak di dada ini. Aku terbuang dalam kehidupan yang seharusnya indah. Mengapa harus melepas airmata? Bukankah tawa lebih mampu menyingkirkan setiap perih meski hanya sesaat. Lalu mengapa juga merasa sepi? Sedangkan gemerlap kehidupan mampu mengundang gelak tawa meski sementara.

Aku diam meradang pada perih yang tak juga mau pergi. Aku malas untuk bergerak mencari kesejatian diri. Inilah hidup dan inilah aku! Yang selalu kalah oleh diriku sendiri. Tidak lagi mampu melangkahkan kaki dengan senyuman kegembiraan menyambut matahari. Seolah telah usai dongeng malam dari ibunda tercinta.

Inilah kenyataan dari hujan dan matahari. Aku berada di cakrawala langit nan luas ini, menghadapkan jiwa pada kebenaran yang samar. Lalu jatuh tersungkur menahan geram. Tengoklah.., seongggok batu permata telah menimpa batok kepalaku sedemikian keras, tanpa aku sadari dan ketahui siapa yang berbuat. Mana mungkin Langit sudi menganugerahiku perhiasaan yang sedemikian mewah untukku. Sedangkan Langit mengetahui bahwa kerinduanku adalah pada kematian, bukan pada kehidupan.

Jangan merasa benar atas apa-apa yang mungkin bisa menjadi salah, Aku lelaki dengan syahwat kusendiri. Yang senantiasa menyeringai setiap menangkap aura mesum yang  diumbar dengan murah meriah. Aku juga lelaki dengan setanku sendiri, yang senantiasa tertawa keras atas nikmat yang kudapat secara cuma-cuma.

Demikianlah akhirnya aku dan juga jiwa-jiwa yang merasa merdeka, telah berhenti ketika hujan gerimis berhenti. Lalu beranjak pergi pada kehidupan yang baru untuk kemudian berkumpul bersama dalam liang lahat ketika harinya kan tiba.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar