Makassar April 2010
Seperti hujan gerimis, aku merasakan ketidak
sungguhanku pada hujan. Setelah deras airmata kutumpahkan di lautan hidup.
Entah, sudah berapa lama terik matahari menghanguskan kulit tubuh ini yang
telah kusam ditelan waktu. Sepertinya tetes-tetes air mampu memberi sedikit
rasa kesejukan jiwa yang gersang.
Hati nurani terkoyak dengan apa yang telah
aku tangkap oleh indera ku yang buta lagi tuli. Namun aku tak berdaya
sebagaimana ketidak berdayaan bumi yang ditelan hujan badai. Terbang bersama
angin mengikuti arah bumi yang lamban berputar. Aku terkapar dan mati dalam
kesendirian. Dimana jiwa-jiwa?!
Seperti helaan nafas panjang melepas sesak
di dada ini. Aku terbuang dalam kehidupan yang seharusnya indah. Mengapa harus
melepas airmata? Bukankah tawa lebih mampu menyingkirkan setiap perih meski
hanya sesaat. Lalu mengapa juga merasa sepi? Sedangkan gemerlap kehidupan mampu
mengundang gelak tawa meski sementara.
Aku diam meradang pada perih yang tak juga
mau pergi. Aku malas untuk bergerak mencari kesejatian diri. Inilah hidup dan
inilah aku! Yang selalu kalah oleh diriku sendiri. Tidak lagi mampu
melangkahkan kaki dengan senyuman kegembiraan menyambut matahari. Seolah telah
usai dongeng malam dari ibunda tercinta.
Inilah kenyataan dari hujan dan matahari.
Aku berada di cakrawala langit nan luas ini, menghadapkan jiwa pada kebenaran
yang samar. Lalu jatuh tersungkur menahan geram. Tengoklah.., seongggok batu
permata telah menimpa batok kepalaku sedemikian keras, tanpa aku sadari dan
ketahui siapa yang berbuat. Mana mungkin Langit sudi menganugerahiku perhiasaan
yang sedemikian mewah untukku. Sedangkan Langit mengetahui bahwa kerinduanku
adalah pada kematian, bukan pada kehidupan.
Jangan merasa benar atas apa-apa yang
mungkin bisa menjadi salah, Aku lelaki dengan syahwat kusendiri. Yang
senantiasa menyeringai setiap menangkap aura mesum yang diumbar dengan murah meriah. Aku juga lelaki
dengan setanku sendiri, yang senantiasa tertawa keras atas nikmat yang kudapat
secara cuma-cuma.
Demikianlah
akhirnya aku dan juga jiwa-jiwa yang merasa merdeka, telah berhenti ketika
hujan gerimis berhenti. Lalu beranjak pergi pada kehidupan yang baru untuk
kemudian berkumpul bersama dalam liang lahat ketika harinya kan tiba.